Pada abad ke -17 hingga ke-19, pulau Bali adalah pemasok budak yang sangat terkenal. Setiap tahun Bali mengirimkan budak ke Batavia rata-rata sebanyak 1.000 orang. Komoditas terbesar pulau Bali saat itu bukanlah hasil bumi atau kerajinan tangan melainkan budak !
Budak-budak itu tidak hanya dijual ke Batavia, tetapi juga ke daerah-daerah lain di nusantara bahkan sampai ke Afrika Selatan dan pulau-pulau di samudera pasifik dan samudera hindia. Yang laki-laki dijadikan pelayan, kuli perkebunan dan prajurit perang sedangkan budak perempuan menjadi pelayan dan gundik.
Harga-harga budak di pasar pelelangan terutama ditentukan oleh usia, kekuatan fisik, dan juga asal-usul mereka. Namun, pada akhir abad ke-18 harga beli seorang budak perempuan muda tiga kali lipat dari laki-laki. Penyebabnya semakin banyak imigran Cina dan juga orang-orang Belanda yang datang ke Batavia dan mengawini para budak.
Budak asal Bali sangat disukai dan berharga lebih mahal karena lelakinya memiliki tubuh yang kekar, cekatan, pemberani namun juga penurut dan paling mudah beradaptasi. Sedangkan perempuannya diminati orang-orang Eropa sebab perempuan Bali dikenal karena kecantikannya, kebaikan hatinya, dan pengetahuan yang baik tentang kesehatan. Alasan lainnya dijelaskan oleh Raffles karena di pulau Bali, beban wanita yang bekerja sebagai petani tidak terlalu berat sehingga menampakkan paras yang lebih cantik dan terawat.
Empat budak perempuan milik Raja Buleleng, tahun 1865. Yang kanan bawah tampaknya berasal dari daerah Papua.
Untung Surapati. Pahlawan Nasional yang awalnya adalah budak asal Bali yang kemudian menjadi bangsawan dan melawan VOC. Bukti bahwa lelaki Bali adalah lelaki gagah berani.
Ketut Jubeleng, oleh Raja Buleleng dijadikan sebagai hadiah untuk tuan Stamford Raffles ketika dirinya masih bocah seusia anak TK. Gambar ini adalah lukisan dirinya saat berumur sekitar 10–11 tahun. Ini menandakan ia berhasil bertahan hidup selama kurun waktu 5 tahun perbudakannya. Bagaimana nasibnya setelah itu? Tak ada yang tahu.
Tinggalkan Balasan