Ada sebuah penitipan anak dimana anak-anak pulang jam 4. Tapi meskipun orang tua sudah tahu jika anak-anak mereka pulang jam 4, banyak orang tua sering terlambat menjemput anaknya. Ini kemudian membuat stress pegawai di penitipan anak dan tentu saja beberapa anak yang belum dijemput.

Pakar ekonomi kemudian memberikan sebuah solusi sederhana. Denda.

Orang tua yang telat menjemput anaknya akan didenda sebesar 3 USD setiap 10 menit. Dengan ini diharapkan para orang tua lebih tepat menjemput anak mereka.

Tapi apa yang terjadi?

Justru makin banyak orang tua yang terlambat menjemput anaknya. Kenapa?

Orang tua mulai melihat denda sebagai biaya tambahan untuk waktu ekstra, bukan sebagai hukuman.

Dengan kata lain, para orang tua menganggap denda yang mereka bayar adalah sebagai bayaran jasa karena telah menjaga anak mereka.

Hasil yang tidak terduga ini adalah contoh klasik dari paradoks, dimana solusi menghasilkan efek yang berlawanan dari yang diharapkan.

Ada lagi contoh klasik dari populasi ular kobra di India.

Diceritakan di jaman penjajahan Inggris, India memiliki jumlah ular kobra yang sangat banyak. Pemerintah Inggris ingin mengurangi jumlah ular kobra ini. Tapi mereka kewalahan. Mereka kemudian memiliki sebuah solusi. Penduduk India yang berhasil menangkap ular kobra akan mendapatkan sejumlah uang.

Dengan ini, jumlah kobra diharapkan akan berkurang drastis karena warga India juga ikut membantu menangkap ular-ular tersebut.

Tapi apa yang terjadi?

Orang-orang India justru beternak ular kobra. Hasil ternak mereka kemudian dibawa ke pemerintah untuk mendapatkan uang.

Pemerintah Inggris sadar akan hal ini dan menghentikan program ini. Warga India yang kemudian tahu jika program ini dihentikan melepaskan ular-ular kobra mereka karena ular-ular tersebut tidak ada harganya.

Ini adalah sebuah paradoks. Solusi dari sebuah masalah malah memperburuk masalah itu sendiri.

Kita lihat lagi contoh nyata lainnya, yaitu kisah dua bersaudara di tahun 1950an di Amerika dengan nama yang kontras: Winner Lane dan Loser Lane. 

Winner artinya pemenang dan Loser artinya pecundang. Ayah mereka memberi nama yang sangat tidak biasa ini dengan harapan tertentu. Winner tentu diharapkan menjadi orang yang sukses. Tapi entah kenapa anak laki-laki lainnya diberikan nama Loser.

Namun, hasilnya mengejutkan. Winner Lane tumbuh menjadi seorang kriminal, sementara Loser Lane berhasil menjadi seorang petugas polisi yang sukses. Paradoks dari nama ini menunjukkan bahwa prediksi atau harapan seringkali bisa berbalik arah.

Paradox juga bisa terjadi dalam pengasuhan anak.

Kasus paling umum adalah screen time atau waktu dimana anak-anak menghabiskan waktu didepan layar entah itu smartphone atau tablet. Beberapa orang tua kadang ingin anaknya juga beraktivitas fisik di luar tidak hanya di dalam rumah menatap layar.

Salah satu solusi? Jadikan screen time sebagai hadiah. Jadi saat anak-anak melakukan aktivitas fisik ,mereka akan mendapatkan hadiah berupa screen time. Tapi ini bisa jadi sebuah paradox. Kenapa?

Anak-anak mungkin akan melakukan aktivitas fisik sekedarnya saja untuk mendapatkan screen time. Mereka tidak benar-benar menikmati atau mendapatkan manfaat dari olahraga tersebut.

Mereka bisa jadi menganggap aktivitas fisik hanya sebagai sarana untuk mendapatkan hadiah, bukan sebagai aktivitas yang menyenangkan atau bermanfaat.

Ini adalah contoh lain dari paradoks, dimana solusi yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah malah menciptakan masalah baru.

Lalu solusinya bagaimana? Dalam kasus screen time tadi, salah satu solusi nya mungkin adalah modeling behavior.

Modeling behavior sederhananya adalah sebuah pendekatan dimana kita, orang tua tidak hanya memberi tahu apa yang harus dilakukan tapi juga memberi contoh. Ini terkait dengan sebuah eksperimen bernama Bobo doll.

Dalam eksperimen ini Albert Bandura menunjukkan bahwa anak-anak meniru perilaku yang mereka amati dari orang dewasa. Eksperimen ini melibatkan anak-anak yang mengamati orang dewasa yang berperilaku agresif terhadap boneka Bobo. Anak-anak yang melihat model agresif cenderung meniru perilaku tersebut, bahkan menggunakan kata-kata kasar yang sama. Sebaliknya, anak-anak yang melihat orang dewasa memperlakukan boneka bobo dengan baik dan tenang juga memberikan perlakuan yang sama pada si boneka.

Hasil dari eksperimen Bobo Doll menekankan betapa pentingnya perilaku yang dicontohkan oleh orang tua. Ketika orang tua menunjukkan perilaku positif, seperti berolahraga bersama anak-anak atau membaca buku, anak-anak cenderung meniru perilaku tersebut.

Jadi alih-alih menggunakan screen time sebagai hadiah, orang tua bisa mengajak anak-anak bermain sepak bola di taman atau melakukan aktivitas fisik lainnya.

Jadi apa paradox? Saat sesuatu atau kondisi memiliki dampak berlawanan dari yang diharapkan.

Paradox mengingatkan kita bahwa ketika kita melakukan A dengan harapan mendapatkan B, seringkali justru kita tetap berada di A atau malah jadi C.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *